Minggu, 30 Maret 2008

Teori Perkembangan Wilayah

TEORI PENGEMBANGAN WILAYAH
A. TEORI KUTUB PERTUMBUHAN
Pengembangan wilayah melalui kutub-kutub pertumbuhan telah menjadi salah satu kiblat dalam pengembangan wilayah di Indonesia. Penerapan konsep ini dapat dilihat pada penetapan SWP (Satuan wilayah pembangunan) di Propinsi Jawa Timur.
Dari berbagai tulisan mengenai konsep kutub-kutub pertumbuhan, menurut Glasson (1977)1 konsep mengenai pengembangan ekonomi dasar dan perkembangan geografiknya dapat didefinisikan sebagai berikut:
a. Konsep Leading industries dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan propulsive yang besar, yang termasuk dalam leading industries yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya. Adanya kemungkinan bahwa sesuatu kompleks industri hanya terdiri dari satu atau segelintir perusahaan propulsive yang dominan. Lokasi geografik asli dari industri-industri seperti itu pada titik-titik vokal tertentu dalam suatu daerah mungkin adalah disebabkan oleh beberapa faktor (lokalisasi sumber daya alam meliputi air/perlindungan/bahan-bakar, lokalisasi kemanfaatan-kemanfaatan sumberdaya manusia (komunikasi atau tempat-tempat sentral yang berlandaskan kegiatan jasa yang suda ada, dimana terdapat keuntungan-keuntungan karena adanya prasarana dan penawaran tenaga kerja). Pada kenyataannya, kutub-kutub pertumbuhan seringkali dicangkokkan pada kerangka tempat-tempat sentral yang sudah ada.
b. Konsep polarisasi menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries (propulsive growth) mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan. Implisit dalam proses polarisasi ini adalah berbagai macam keuntungan aglomerasi (keuntungan internal dan eksternal dari skala). Polarisasi ekonomi ini pasti menimbulkan polarisasi geografik dengan mengalirnya sumberdaya dan konsentrasi ekonomi pada pusat-pusat yang jumlahnya terbatas di dalam sesuatu daerah. Bahkan ketika perkembangannya menurun, lokasi tersebut seringkali tetap berkembang dengan baik disebabkan karena adanya keuntungan-keuntungan aglomerasi.
c. Konsep spread effects menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas propulsif dinamik dari kutub pertumbuhan akan memancar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya. Trickling down atau spread effect ini sangat menarik bagi perencanaan

regional dan telah memberikan sumbangan besar bagi kepopuleran teori ini pada waktu-waktu belakangan ini sebagai sarana kebijaksanaan.
Dengan mengacu pada tiga grand thoery dalam kutub pertumbuhan, ada beberapa istilah mengenai industri, yaitu leading industries dan Perusahaan propulsif. Kedua jenis perusahaan ini akan sangat berperan dalam mendorong pengembangan perekonomian di wialyah tertentu. Suatu leading industry masih menurut Glasson (1977)2 mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1 Relatif baru, dinamik dan mempunyai tingkat teknologi maju yang menginjeksi iklim “gandrung-pertumbuhan” ke dalam sesuatu daerah.
2 Permintaan terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi, produk mana biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.
3 Mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor-sektor lainnya (kaitan-kaitan ini dapat berbentuk kaitan ke depan (forward linkages), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio penjualan hasil industri antara yang tinggi terhadap penjualan total, atau berbentuk kaitan ke belakang (backward lingkages), dalam hal ini industri mempunyai rasio input-antara (dari industri-industri lainnya) yang tinggi terhadap input total. Suatu perusahaan propulsif menurut Glasson (1977)3 mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:
1 Relatif besar.
2 Menimbulkan dorongan-dorongan pertumbuhan yang nyata kepada lingkungannya.
3 Mempunyai kemampuan berinovasi yang tinggi.
4 Termasuk dalam suatu industri yang sedang bertumbuh dengan cepat.

Dengan terkumpulnya suatu perkembangan pada titik wilayah tertentu maka akan terjadi berbagai keuntungan agglomerasi. Ada tiga keuntungan aglomerasi yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Keuntungan yang bersifat intern bagi perusahaan yang bersangkutan. Wujudnya adalah turunnya produksi rata-rata yang diakibatkan oleh kenaikan tingkat output. Produksi berskala besar seperti itu memungkinkan keuntungan-keuntungan teknik, seperti spesialisasi pekerjaan dan penggunaan proses flow line unntuk menggantikan proses bacth dan bermacam-macam keuntungan manajemen, pemasaran dan keuangan.
b. Keuntungan yang bersifat ekstern bagi perusahaan tetapi bersifat intern dalam industri. Wujudnya adalah turunnya biaya satuan output bagi perusahaan sebagai akibat dari meluasnya industri pada suatu lokasi tertentu. Keuntungan-keuntungan lokalisasi seperti itu ditimbulkan oleh kedekatan lokasi dari perusahaan-perusahaan yang saling berkaitan, dan meliputi berkembangnya kelompok tenaga kerja yang besar trampril, kemudian saling tukar bahan dan produk. Kemungkinan lahirnya perusahaan-perusahaan baru untuk mengolah bahan-bahan sisa dan berkembangnya jasa-jasa spesialisasi yang tersedia bagi semua perusahaan, seperti kemudahan menggunakan fasiltas R and D dan jasa-jasa reparasi.
c. Keuntungan-keuntungan yang bersifat ekstern bagi industri, tetapi bersifat intern bagi daerah perkotaan. Wujudnya adalah berpindahnya ke bawah kurve biaya rata-rata tiap perusahaan sebagai akibat dari adanya industri yang bertumbuh pada satu tempat. Dikenal sebagai keuntungan-keuntungan urbanisasi, hal ini meliputi berkembangnya pasar tenaga kerja perkotaan, kemudahaan memasuki

2 ibid 3 ibid
pasar yang lebih besar, adanya sektor swasta dan pemerintah yang menyediakan berbagai macam jasa bagi penduduk dan bagi industri. Jasa-jasa seperti itu dapat meliputi, misalnya tersedianya fasilitas-fasilitas pengangkutan, perdagangan dan keuntungan yang lebih baik, dan berkembangnya aneka ragam fasilitas sosial, kebudayaan dan waktu senggang. Dalam mewujudkan polarisasi, prasarana yang sangat berkembang yang menyediakan fasilitas-fasilitas pada pusat untuk melayani daerah yang lebih luas, mungkin mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan peranan yang dimainkan oleh adanya suatu kompleks leading industries.
B. TEORI AGGLOMERASI
Pemahaman akan teori agglomerasi ini berkembang dari konsepsi klasik sampai pada konsepsi moderen. Menurut Kuncoro (2002)4, perpektif klasik memahami suatu aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi” (economies of aglomeration) melalui konsep eksternalitas. Sedangkan, kota ini didefinisikan sebagai hasil dari produksi aglomerasi secara spasial.
Penghematan pada agglomerasi ini dibagi dalam dua kriteria, yaitu: penghematan internal dan eksternal dan penghematan akibat skala ekonomi dan cakupan. Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya internal dalam suatu perusahaan atau pabrik. Menurut Toyne (dalam Kuncoro: 2002)5, ada beberapa faktor yang berperan dalam penghematan tersebut adalah pembagian kerja (spesialisasi), mekanisasi, melakukan sub kontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya. Penghematan eksternal lebih merupakan pada pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Penghematan akibat skala ekonomi merupakan penghematan yang terjadi ketika perusahaan menambah produksi dengan memperbesar pabrik. Dengan semakin besarnya produksi, biaya produksi per unit akan dapat ditekan sekecil mungkin. Penghematan ini berbeda degan penghematan akibat cakupannya. Penghematan akibat cakupannya terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang bersamaan sehingga menghemat biaya.
Perspektif klasik ini berkembang sehingga timbul perspektif moderen tentang aglomerasi. Menurut perspektif modern, ada tiga jalur pemikiran, yaitu: eksternalitas dinamis (dynamic externalities), pertumbuhan perkotaan (urban growth school), dan Analisa berbasis biaya transaksi.
Pada teori dinamis, Gleaser, Kallal, Scheinkman, dan Shleifer (dalam Kuncoro: 2002)6 menyatakan bahwa proses pembentukan suatu kota merupakan akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu. Akumulasi informasi ini akan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. Eksternalitas dinamis menekankan pada pentingnya transfer of knowledge antar perusahaan dalam suatu industri. Proses transfer ini dilakukan lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal dalam industri yang sama.
Paradigma pertumbuhan perkotaan melihat proses pembentukan kota terjadi sebagai dampak dari agglomerasi. Walaupun demikian, faktor yang menyebabkannya tidak saja dipengaruhi oleh penghematan yang terjadi. Fujita dan Thisse (dalam
4 Kuncoro, Mudrajad, Analisa Spasial dan Regional: Studi kasus aglomerasi dan kluster industri
Indonesia, UPP AMP YKPN, 2002 5 ibid 6 ibid
Kuncoro: 2002)7 menyatakan ada dua kekuatan utama dalam pertumbuhan kota, yaitu gaya sentripetal dan gaya sentripugal. Gaya sentripetal dijelaskan pada proses penghematan yang dilakukan pada suatu agglomerasi industri. Sedangkan gaya sentripugal diperlihatkan oleh adanya kenaikan dari biaya faktor-faktor produksi. Kenaikan dari biaya faktor produksi tersebut pada suatu tempat sehingga mengakibatkan adanya perbedaan relatif dengan tempat lain menyebabkan adanya interaksi arus faktor produksi. Dari interaksi ini, faktor produksi yang keluar dari tempat tersebut merupakan eksternalitas negatif dan faktor produksi yang merelokasi ke tempat tersebut dinyatakan sebagai eksternalitas positif.
Analisa Biaya Transaksi merupakan suatu teori dengan lebih melihat lebih mendalam pada proses transaksi. Menurut Coase (dalam Kuncoro: 2002)8, untuk melakukan transaksi pasar diperlukan mengidentifikasi dengan siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa seseorang ingin berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk menyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti dan seterusnya. Dengan melihat hal ini, biaya transaksi ini tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak saja, akan tetapi mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi. Teori ini muncul setelah dalam teori lainnya, biaya transaksi dinyatakan nol. Dengan demikian, biaya transaksi yang kecil maka akan mendorong munculnya perusahaan dan membentuk agglomerasi tertentu dan begitu sebaliknya.
TABEL II-1 SUMBER-SUMBER DAN JENIS BIAYA TRANSAKSI(Kuncoro: 2002)9

SPESIFIKASI ASET KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN KETIDAKPASTIAN PRILAKU
A. Sumber Biaya Transaksi Hakekat Masalah Governance Penjagaan Adaptasi Evaluasi kriteria
B. Jenis Biaya Transaksi Biaya Langsung Biaya Alternatif (opportunity cost) Biaya menjalin penjagaan Gagal melakukan investasi ke dalam aset produktif Biaya komunikasi, negosiasi, dan koordinasi Kesalahan adaptasi; gagal untuk mengadaptasi Biaya pemeriksaan dan seleksi (ex-ante) Kegagalan mengiden-tifikasi mitra yang sesuai (ex-post). Kehilangan produkti-vitas melalui upaya penyesuaian (ex-post)

Tesis utama Analisa Biaya Transaksi (ABT) menurut williamson (dalam Kuncoro: 2002)10 adalah bahwa biaya transaksi sebagai biaya menjalankan sistem ekonomi. Secara lebih khusus, biaya transaksi mencakup baik biaya langsung (direct cost) dari menjaga hubungan dan kemungkinan biaya alternatif (opportunity cost) dari
7 ibid 8 ibid 9 ibid 10 ibid
terbuatnya keputusan inferior. Yang pertama terdiri dari biaya menyusun konsep kesepakatan, negosiasi dan penjagaan. Yang kedua adalah biaya yang telah terjadi yang meliputi biaya salah adaptasi yang terjadi ketika transaksi melenceng; biaya tawar-menawar yang terjadi bila upaya bilateral dilakukan untuk mengkoreksi kesalahan yang terjadi; biaya penyusunan dan pengelolaan yang diasosiasikan dengan struktur pemerintahaan dimana perselisihan diidentifikasi; dan biaya pengikatan yang mempengaruhi penjagaan komitmen.
Meminimalkan biaya transaksi akibat skala ekonomis
C. TEORI SISTEM JARINGAN (NETWORK CITIES)
Fenomena globalisasi telah menjadi bagian yang terhubungkan dengan pengembangan wilayah. Globalisasi dimaknai akan menghilangkan batas-batas antar wilayah (borderless region). Globalisasi pun akan mengakibatkan kompetisi yang ketat dan berkualitas. Fenomena ini pun akan menyebabkan perluasan pasar yang mengakibatkan dua fenomena baru yang muncul, yaitu (Rossignolo: 2002)12:
1. Kompetisi wilayah pada kota-kota yang menyediakan wilayah yang karakteristiknya sama (baik spesialisasinya maupun pengembangan penelitian untuk meningkatkan efisiensi dalam produksi barang dan jasa).
11 ibid 12 Rossignolo, Cristiana, Networking in EU: Different Policies at Different Spatial Scales, Paper Presented at the EURA Conference, Turin, 2002
2. Kerjasama dengan kota lain untuk integrasi yang menerus dan kerjasama baik pada aspek produksi dan ekonomi maupun pada pelayanan.
Kerjasama menyebabkan suatu kota dapat mengembangkan sumberdayanya, mengembangkan dampak positif dari sinergitas sumberdaya dalam wilayahnya. Sumberdaya (Rossignolo: 2002)13 dimaknai sebagai sumberdaya manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan, kemampuan spesifik pada ekonomi, politik, dan sosial, aksesibilitas kepada informasi dan jaringan lokal.
Melihat pada beberapa fenomena tersebut, model network city merupakan model yang mampu memberikan pembenaran terhadap terhubungkannya suatu wilayah dengan wilayah lain di seluruh dunia. Model ini pun mampu memberikan penjelasan mengenai hubungan eksternal yang tidak diberikan pada model central-peripheral. Model central-peripheral hanya melihat pada hubungan hierarkis dimana pengaruh akan muncul dari wilayah yang lebih dominan. Hal ini tidaklah berlaku pada model network system dimana ada kebebasan untuk memilih pola pembangunan pada masing-masing pusat pengembangan. Penyebab utama kebebasan ini menurut camagni (dalam Rossignolo: 2002)14 adalah fungsi wilayahnya tidak lagi terhubungkan secara langsung pada dimensi hierarki tadi tapi terhubungkan dengan pusat pengembangan yang lebih kompetitif terhadap perkembangan struktur internal pusat pengembangan, perkembangan kemampuan strategis perancangan dan perencanaan, dan perkembangan kemampuan untuk “memasarkan” ke luar.
Perkembangan teori kota-kota ini pun ternyata tidak hanya tergantung pada skala dan aktivitas yang akan dibangkitkan dalam suatu sistem tempat memusat, teori pengembangan kota-kota yang terbaru lebih mengacu pada sistem jaringan kota. Asumsi yang diambil menurut Batten (dalam Kuncoro: 2002)15 adalah dua kota atau lebih yang berdekatan, meskipun tadinya merupakan kota-kota yang terpisah dan independen, dapat memperoleh manfaat berupa sinergi dari pertumbuhan kota yang interaktif melalui resiprositas, pertukaran pengetahuan dan kreatifitas yang tidak disangka. Hal ini didorong oleh jaringan transportasi dan komunikasi yang dapat diandalkan. Dengan demikan, jaringan antar kota dapat mencapai penghematan (economies of scale) yang substansial.
TABEL II-2 SISTEM TEMPAT PUSAT VERSUS SISTEM JARINGAN (Kuncoro: 2002)16

CENTRAL PLACE SYSTEM NETWORK SYSTEM
Sentralitas Nodalitas
Ketergantungan skala (size dependency) Netralitas skala
Kecenderungan menuju primacy dan subservience Kecenderungan menuju fleksibilitas dan komplementaritas
Barang dan jasa homogen Barang dan jasa heterogen
Aksesibilitas vertikal Aksesibilitas horizontal
Terutama aliran satu arah Aliran dua arah
Biaya transport Biaya informasi
Persaingan sempurna di mana-mana Persaingan tidak sempurna dengan diskriminasi harga.

13 ibid 14 ibid 15 ibid 16 ibid
Dalam literatur ilmu keruangan, ada dua level dari jaringan (networking), yaitu:
1 Pada level lokal atau regional, berdasarkan hubungan yang berjarak dekat dan tujuan kerjasama. Tujuan kerjasama pada pengembangan fungsional yang meliputi aktivitas lintas batas, sinergitas dan komplementaritas.
2 Pada level supra-local melalui hubungan yang jarak jau dan kerjasama pada tema-tema umum untuk sosial dan fungsional.

Batten (dalam Rossignolo: 2002)17 menyatakan bahwa suatu sistem kota terjadi ketika dua atau lebih kota yang sebelumnya independent, memiliki potensi untuk menjadi komplementaritas dalam fungsi, berupaya untuk bekerjasama dan mencapai kemampuan ekonomi yang signifikan melalui koridor transportasi yang mungkin dan cepat dan infrastruktur komunikasi. Sedangkan untuk networking tipe kedua lebih mengacu pada strategi aliansi lintas batas yang mewakili jaringan-jaringan kota yang terpisah jauh melalui hubungan dan kerjasama pada isu-isu bersama.
Network cities tidaklah diartikan hanya untuk kota-kota yang besar saja, akan tetapi kota atau wilayah yang memiliki fungsi tertentu. Beberapa fungsi misalnya seperti: pusat informasi, pusat produksi, pusat budaya, pusat penelitian dan inovasi teknologi, pusat pameran, dan pusat pemasaran. Beberapa contoh menurut Rossignolo (2002)18 dalam kasus network cities di eropa adalah: pusat garmen di Florence, pusat sutra di Komo, pusat alat-alat mesin di Hanover, Pusat produksi budaya di Seville, Salzburg, dan Spoleto.
Menurut Governa (dalam Rossignolo: 2002)19 pengembangan pusat-pusat kota atau wilayah ini dapat dilakukan melalui pengembangan lokalnya. Pengembangan lokal ini tidak dipandang sebagai suatu alternati proses pada dinamika global, tetapi sebagai respon spesifik hasil dari jaringan entitas-entitas lokal dan setting perkotaan.
Penjelasan di atas lebih kepada pengembangan pusat-pusat kota atau wilayah yang disebut sebagai node. Ada bagian lain dari network cities ini yang penting, yaitu: jaringan penghubung antar node. Salah satu intrumen penguhubungnya adalah pelabuhan. Banyak kasus yang menyatakan bahwa pelabuhan ini mampu menghubungkan satu node dengan node lain dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sebagai contoh adalah Pelabuhan Pusan yang memiliki program sisterhood dengan pelabuan Osaka, New York, Shanghai, Rotterdam, dan Seatle. Beberapa program pengembangan pada pelabuhan tersebut adalah:
1 Program standarisasi statistik pelabuhan dan sharing informasi.
2 Pengukuran polusi laut.
3 Pengembangan kepariwisataan melalui kunjungan yang timbal balik antar node.
4 Free Trade Area dan Free Custom Zone.
5 Kerjasama pertukaran budaya.

Program-program pengembangan node ini sangatlah tergantung pada fungsi masing-masing node. Fungsi node ini diciptakan melalui kemampuan lokalnya. Kasus The High Tech Cluster di Helsinki Metropolitan Region memberikan contoh proses pembangunan kota yang kreatif. Untuk menciptakan kota yang spesifik ini pun diberikan program-program yang spesifik. Ada beberapa program yang diterapkan, yaitu:
1 Membangun Universitas Internasional Heksinki.
2 Helsinki-Tallinn “Kota Kembar untuk Ilmu dan Pengetahuan”.
3 Mengembangkan bisnis pengetahuan di kampus dan pusat pengetahuan lainnya.

17 ibid 18 ibid 19 ibid
1 Menyiapkan strategi pemanfaatan ruang wilayah untuk aktivitas berbasiskan pengetahuan.
2 Program penelitian dan pembangunan untuk Sistem inovasi wilayah Helsinki.
3 Pembangunan sektor KIBS (knowledge Intensive Business Services) dalam pengembangan wilayahnya.

D. TEORI POLYCENTRIS URBAN REGION
Konsep policentris bukan merupakan barang baru, tapi saat ini menjadi makin populer. Policentris diartikan sebagai barang yang berbeda pada orang yang berbeda. Para perencana kota menggunakannya sebagai suatu alat untuk perencanaan spasial yang strategis. Geologis menggunakannya untuk menjelaskan bentuk spesifik dari struktur dan pertumbuhan kota. Policentris juga diartikan sebagai barang yang berbeda ketika diaplikasikan pada skala ruang yang berbeda.
Dahulu, konsep ini diaplikasikan pada tingkat satu kota yang difokuskan pada pola intra-urban dari orang dan aktivitas ekonomi yang mengelompok. Baru-baru ini, konsep ini digunakan pada skala inter-urban untuk menyatakan keberadaan dari banyak pusat pada satu wilayah.
Dua abad yang lalu, kota-kota memiliki 2 model, yaitu monosentris dan polisentris. Model monosentris, Secara konseptual, sampai tahun 1970, struktur internal dari kota-kota didasarkan pada model monosentris. Bentuk yang sederhana itu terdiri dari inti kota berupa CBD (Central Bussiness District) dikelilingi oleh wilayah permukiman di sekitarnya. Konsepsi ini pun menjadi tidak relevan pada tahun 1970-an akibat adanya perubahan (Davoudi: 2002)20, yaitu:
1 Desentralisasi dari aktivitas ekonomi.
2 Meningkatnya mobilitas melalui perkembangan teknologi transportasi.
3 Pola perjalanan yang beragam dan pola kommuter yang kompleks.
4 Perubahan struktur rumah tangga dan gaya hidup.

Sejak itu, kota terus berkembang dan mengalami perubahan kualitatif yang lebih mencerminkan pada pola polisentris dibandingkan monosentris. Perubahan ini disebabkan oleh:
1 Perubahan hubungan ekonomi antar dan intra perusahaan.
2 Signifikansi dari agglomerasi ekonomi dalam distribusi pekerja dan penduduk.
3 Kecenderungan perusahaan untuk mengelompok ketika biaya akibat adanya

jarak menjadi tinggi. Ada tiga hal penting mengapa konsep Polisentris yang kemudian berkembang menjadi Polycentris Urban Region (PUR) ini menjadi penting Parr21, yaitu:
1 PUR dianggap sebagai suatu bentuk wilayah yang berbeda.
2 PUR dilihat sebagai wilayah yang memiliki potensi perkembangan ekonomi yang tinggi (superior terhadap wilayah lainnya).
3 PUR dipandang sebagai suatu intervensi kebijakan publik yang terorganisasi dan diinginkan. Kota polisentris seringkali terdiri dari suatu pusat besar dan sejumlah sub pusat

dengan kepadatan penduduk dan tenaga kerja yang tinggi. Sub pusat ini muncul dengan dua cara, yaitu: berasal dari kota tua yang secara bertahap menjadi wilayah
20 Simin Davoudi, Polycentricity: What does it mean and how is it interpreted in the ESDP (European
Spatial Planning Perspective), the EURA Conference Urban and Spatial European Policies: Levels of
Territorial Government, Turin 18-20 April 2002 21 Parr, John B., Reinventing Region ? The Case of The Polycentric Urban Region, United Kingdom.
LAPORAN PENELITIAN-ADJIE PAMUNGKASII -8
yang meluas tapi dalam karakter wilayah kota, dan berasal dari pusat baru yang berkembang dari titik pada suatu sistem transportasi.
Polycentris mengacu pada pusat-pusat yang beragam (plural). Region adalah wilayah yang dimaksudkan pada bagian suatu propinsi (sub nasional). Urban adalah wilayah yang memiliki karakteristik sebagai pusat kota. Polycentris Urban Region (Davoudi: 2002)22 diartikan sebagai suatu wilayah dengan dua atau lebih kota yang terpisah baik secara historis maupun politis dan tidak memiliki peringkat yang berjenjang. Kedua atau lebih kota tersebut berada dalam suatu jarak yang rasional (tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat) dan memiliki keterkaitan fungsional. Untuk masalah kedekatan jarak antar satu sub pusat dengan sub pusat lain, Davoudi (2002)23 menjelaskan bahwa tidak ada kesepakatan antar ahli secara pasti. Pattrik Geddes memberikan gambaran yaitu satu jam perjalanan. Sedangkan menurut Hans Blumenfeld memutuskan bahwa jarak yang ada seharusnya tidak lebih dari 40 menit perjalanan. Berbeda dengan David Batten memberikan argumentasi bahwa jarak ini kurang dari satu setengah jam. Untuk menilai keterkaitan fungsional, Davoudi (2002)24 berpendapat bahwa ukuran yang sering digunakan adalah aliran pasar tenaga kerja pada nilai statistik perjalanan bekerja. Walaupun demikian, untuk menangkap adanya interdependensi fungsional diperlukan analisis yang meliputi aktivitas bangkitan pergerakan dari orang yang tidak bekerja, aliran sumberdaya, barang dan informasi. Bahkan lebih baik lagi jika bisa mengukur aliran pengetahuan antar satu sub pusat dengan sub pusat lainnya.
Ada tujuh kondisi menurut Parr25 mengenai PUR ini, yaitu:
1 Di wilayah tersebut terdapat sejumlah pusat kota yang dipisahkan oleh lahan terbuka (bisa berupa lahan pertanian atau lahan kosong).
2 Terdapat sebuah pemisahan maksimum dari pusat-pusat kota. Pemisahan ini bisa berjarak satu jam perjalanan, atau selama waktu perjalanan bekerja yang optimal.
3 Ada jarak pemisahan minimum antar pusat-pusat kota. Jarak pemisahan ini tidak rigid tapi jarak ini mampu menghindarkan terjadinya penyatuan kota membentuk konurbasi.
4 Ukuran pusat-pusat ditentukan lebih dekat di dalam PUR dibandingkan dengan wilayah pinggirannya. Ukuran pusat pun lebih besar dinadingakn dengan wilayah pinggirannya. Dengan demikian, di pusat tersebut akan memiliki populasi atau tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pusat di wilayah pinggirannya.
5 Diantara pusat-pusat kota di dalam PUR, tidak ada hirarki yang jelas.
6 Ada interaksi atau hubungan ekonomi yang penting diantara pusat-pusatnya. Interaksi ini menjadi sangat intensif dibandingkan dengan pusat lainnya di pinggiran. Interaksi ini pun berlangsung dalam berbagai bentuk dan cara.

Aplikasi model PUR ini memiliki keuntungan akibat sifat pusatnya adalah suatu kota. Dekatnya jarak antar pusat kota, maka akan memudahkan pula terjadinya interaksi positif antar sub pusat seperti orang dapat berbelanja dan ke tempat hiburan kota lain, para pengusaha dapat berbagi dalam penggunaan fasilitas perdagangan dan jasa, dan para tenaga kerja menikmati pasar lowongan kerja yang luas dan fleksibel. Selain itu pula, PUR akan mengurangi kerugian akibat dari kota seperti biaya yang tinggi untuk faktor produksi, kemacetan, polusi dan lainnya. walaupun demikian, keuntungan ini harus dikompensasikan pada beberapa hal seperti; diperlukannya biaya
22 ibid 23 ibid 24 ibid 25 Parr, John B., Reinventing Region ? The Case of The Polycentric Urban Region, United Kingdom.
LAPORAN PENELITIAN-ADJIE PAMUNGKASII -9
untuk tambahan perjalanan yang lebih jauh (untuk para komuter, barang, informasi, maupun lainnya), adanya penduduk yang tersebar, infrastruktur yang ada dalam skala yang lebih kecil di masing-masing pusat dan pemisahan upaya antara pusat-pusat yang bersaing akan berkontribusi pada masalah penyesuaian ekonomi regional dan mengakibatkan tekanan ekonomi pada wilayah PUR ini sendiri.
Contoh aplikasi konsep PUR menurut Davoudi (2002)26 dapat dilihat di Flemish Diamond (Belgia) yang merupakan kelompok kota-kota seperti Brusells, Leuven, Antwrep dan Ghent. Selain itu, terjadi pula di Jerman yang merupakan kumpulan kota-kota seperti Dortmund, Essen, Dusseldorf, Cologne dan Bonn.
Dalam aplikasi konsep PUR perlu dilakukan identifikasi sub pusat-sub pusat yang ada. Prosedural formal pertama untuk mengidentifikasi adalah identifikasi sub pusat tenaga kerja yang dikemukakan oleh Mc Donald (dalam Mc Millen: 2001)27. Identifikasi sub pusat tenaga kerja didapat melalui estimasi fungsi kepadatan tenaga kerja untuk suatu standar kota monosentris.
Log yi = α + βxi + εi
Dimana
yi = jumlah tenaga kerja per acre
xi = Jarak dari CBD
Untuk menentukan apakah satu lokasi itu dapat dijadikan sub pusat, Mc Millen (2001)28 berpendapat bahwa sub pusat adalah suatu lokasi yang memiliki jalan yang menerus dan memiliki kepadatan tenaga kerja 10 tenaga kerja/acre di masing-masing sub pusat dan memiliki total tenaga kerja setidak-tidaknya 10.000 tenaga kerja.
Dalam menentukan sub pusat pun dapat dilakukan dengan cara pendekatan nonparametrik. Estimasi nonparametrik lebih bersifat fleksibel, memperbolehkan perhitungan untuk data yang tidak terdistribusi normal (misalnya kepadatan tenaga kerja menurun tajam di sisi utara kota dan menurun landai pada sisi selatan kota). Tokoh penggagas teori non parametrik ini adalah Mc Millen yang berupaya mensintesakan pendekatan regresi dari Mc Donald dan pendekatan Craig and Ng. Ada dua tahap pendekatan penentuan sub pusat. Tahap pertama adalah mengidentifikasi calon sub pusat melalui analisa residual dari fungsi kepadatan tenaga kerja. Berbeda dengan Mc Donald, Mc Millen menggunakan fungsi estimasi nonparametrik, dan regresi dengan bobot tertentu di masing-masing calon sub pusat untuk memperkirakan fungsi kepadatan tenaga kerja. Tahap kedua adalah menggunakan prosedur semiparametrik untuk menghitung signifikansi sub pusat yang potensial melalui penjelasan kepadatan tenaga kerja. Mc Millen menggunakan bentuk flexible fourier untuk mendekati regresi nonparametric.
Dalam melakukan pengembangan interaksi antar center-periphery, Peters (2000)29 mengemukakan ada beberapa tipe kebijakan ekonomi dan transportasi. Tipe kebijakan ini disesuaikan dengan tujuan apa yang hendak dicapai. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
26 ibid 27 Mc Millen, Daniel P., Polycentric Urban Structure: The Case of Milwaukee, 2001 28 ibid
Peters, Deike, Center – Periphery Dynamics in The New Europe and Their Impact on Transport Infrastructure Planning, International Planning History Conference in Helsinki, August 20-23, 2000
LAPORAN PENELITIAN-ADJIE PAMUNGKAS II -10
TABEL II-3 PENDEKATAN PENGEMBANGAN TRANSPORTASI DAN EKONOMI (dalam Peter: 2000)
PENDEKATAN UNIT ANALISA KONSEP DASAR TIPE KEBIJAKAN TRANSPORT
Pertumbuhan (moderinisasi) Pangsa pasar ekonomi •Kompetisi •Keuntungan Komparatif. •Efisiensi. •Solusi teknologi Tinggi. •Privatisasi sistem transportasi untuk penumpang. •Deregulasi angkutan. •Memperluas jaringan jalan. •Mendukung sistem transportasi berkecepatan tinggi. •Kendaraan yang rendah kadar emisinya.
Pemerataan (Ekonomi Politik) Masyarakat •Keadilan sosial. •Penyebaran kembali. •Power struggle. •Inti vs Daerah pinggiran •Subsidi transportasi publik. •Membuat pelayanan terjangkau. •Pajak yang lebih. •Menginventasi untuk jaringan lokal. •Mendesentralisasi jaringan.
Lingkungan (keberlanjutan) Alam •Ekologi •Eksternalitas. •Habitat. •Daya tampung •Memperbanyak moda yang tidak menggunakan bahan bakar berpolusi. •Pajak yang tinggi untuk emisi. •Mengurangi perjalanan yang berjarak jauh. •Meningkatkan Tingkat kepadatan penggunaan lahan. •Mendukung rel kereta api melintasi jalan.

E. LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT
Konsep Local Economic Development ini merupakan konsep yang mencoba untuk mengantisipasi tidak terjadinya efek penetesan kebawah (tricle down effect) pada konsep Top Down Planning atau pun Indicatif Planning. Blakely (1989)30 menyatakan bahwa local economic development memiliki ciri yang utamanya adalah adanya kebijakan-kebijakan endogenous development yang menggunakan potensi lokal sumberdaya manusia, institusi dan sumberdaya alam (fisik). Pembangunan ekonomi lokal ini juga merupakan sesuatu yang berorientasikan proses dengan melibatkan adanya pembentukan institusi baru, pembangunan alternatif industri, peningkatan kemampuan produksi manusia, alih teknologi, dan melanggengkan perusahaan baru atau yang ada.
Dalam proses pembangunan ekonomi lokal di atas, Blakely (1989)31 menyatakan ada 4 komponen pembangunan yaitu sumber daya manusia, dasar pembangunan, kepemilikan lokasi dan sumber pengetahuan. Komponen sumber daya manusia lebih menekankan kepada peningkatan kualitas pekerja yang berasal dari penduduk lokal dibandingkan banyaknya pekerja. Dasar pembangunan lebih ditekankan kepada membangun suatu institusi ekonomi baru dibandingkan membangun sektor ekonomi tertentu. Kepemilikan lokasi lebih menekankan pada keunggulan kompetitif yang didasarkan pada kualitas lingkungan dibandingkan dengan keunggulan komparatif yang didasarkan kepemilikan fisik. Dan sumber pengetahuan
30 Blakely, Edward J., Planning Local Economic Development: Theory and Practice, Sage Publication,
1989. 31 ibid
ditekankan bahwa pengetahuan sebagai pembangkit ekonomi dibandingkan dengan angkatan kerja yang berharga.
Berkaitan dengan pengembangan ekonomi lokal, Coffey dan Polese memberikan gambaran bahwa pengembangan lokal dapat diartikan sebagai peningkatan peran elemen-elemen endogenous dalam kehidupan sosial-ekonomi suatu lokalitas, dengan tetap melihat keterikatan serta integrasinya secara fungsional dan spasial dengan wilayah (region) yang lebih luas. Pada intinya pengembangan lokal diartikan sebagai terbitnya spirit kewirausahaan lokal serta bertumbuhkembangnya perusahaan-perusahaan lokal. Coffey dan Polese juga memberikan gambaran mengenai tahapan dalam proses pengembangan ekonomi lokal ini sendiri, yaitu sebagai berikut ;
1 Tumbuh dan berkembangnya kewiraswastaan lokal, yaitu masyarakat lokal mulai membuka bisnis kecil-kecilan, mulai mengambil resiko keuangan dengan menginvestasikan modalnya dalam kegiatan bisnis baru.
2 Pertumbuhan dan perluasan perusahaan-perusahaan lokal, yaitu lebih banyak perusahaan yang mulai beroperasi dan perusahaan-perusahaan yang sudah ada semakin bertambah besar dalam hal penjualan, tenaga kerja, dan keuntungan (lepas landasnya perusahaan lokal).
3 Berkembangnya perusahaan-perusahaan ke lokal dan luar lokalitas.
4 Terbentuknya suatu perekonomian wilayah yang bertumpu pada kegiatan dan

inisiatif lokal serta keunggulan komparatif aktivitas ekonomi lokal tersebut. Dengan demikian, ciri utama dari pengembangan lokal yaitu didasarkan pada kebijakan pengembangan endogenous yang menggunakan kekuatan lokal sumberdaya manusia, institusi, dan fisik. Selanjutnya Blakely (1989)32 menambahkan bahwa pemerintah daerah, lembaga masyarakat dan sektor swasta merupakan partner penting dalam proses pengembangan perekonomian lokal.
Dari beberapa pendapat pakar mengenai pengembangan lokalitas itu sendiri, dapat dilihat bahwa pengembangan lokalitas tersebut tidak akan terlepas dari penguatan sumber daya manusia dalam hal ini mengenai kewiraswastaannya. Munculnya kewiraswastaan di masyarakat ini haruslah diikuti dengan semakin menguatnya interaksi sosial diantara masyarakat dalam mengembangkan lokalitasnya. Pembangunan interaksi sosial ini diawali dengan adanya pertukaran informasi, kemampuan yang dimiliki, modal, dan kemudian akan menimbulkan suatu norma, aturan. Norma atau aturan yang ada pada masyarakat tersebut kemudian akan terjadi secara terus menerus sehingga akan membentuk suatu budaya. Budaya ini kemudian diarahkan agar tidak bersifat kontraproduktif sehingga memerlukan suatu formulasi baik langsung maupun tidak langsung didalam suatu institusi. Dengan kata lain pengembangan ekonomi lokal yang memiliki 4 tahapan tersebut untuk jangka panjang akan sangat ditentukan oleh kemampuan institusinya sebagai dasar pembangunan.
Dalam kerangka pemikiran logis dapat dilihat bahwa Globalisasi memungkinkan produksi masal yang sejenis (mass production). Dilain pihak, akan muncul situasi antagonistik di dalam dunia usaha. Produksi masal tidak selamanya memberikan keuntungan yang maksimal, justru produksi pada barang-barang tertentu yang dilakukan pada skala kecil dapat memberikan keuntungan yang tidak kecil. Pengelolaan skala kecil ini dapat secara cepat mengikuti selera pasar serta memberikan kepuasan tertentu pada konsumen. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan ekonomi di Italia yang melakukan produksi dengan menggunakan konsep Flexible Specialization (FS). Konsep ini memberikan suatu gambaran bagaimana produksi skala kecil mampu mengatasi tantangan globalisasi tersebut.
32 ibid
Dengan produksi skala kecil tersebut akan meningkatkan terjadinya peningkatan nilai lokalitas sehingga lokalitas suatu daerah tersebut dapat berkembang. Pengembangan lokalitas yang didasarkan pada potensi lokalnya akan mampu mendorong ekonomi lokalnya maupun ekonomi wilayah yang lebih luas lagi. Kenyataan ini dapat dilihat pada pengembangan wilayah dengan basis local development , telah berhasil menciptakan distrik-distrik industri yang berkembang dengan pesat dan mandiri, seperti tersebar di Jerman dan Italia (Tommy Firman , Kompas : 9/12/1999).
Dalam upaya mengembangkan lokalitas di atas, ada beberapa alat/kebijakan/program pembangunan yang dapat dilakukan. Beberapa program tersebut diharapkan mampu mencapai beberapa tujuannya. Secara matrikulasi beberapa pola program dan tujuan dapat dilihat sebagai berikut:
TABEL II-4 ALAT DAN TUJUAN DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
ALAT TUJUAN
MEMBANGUN KEGIATAN BISNIS MENARIK KEGIATAN BISNIS MEMPERTAHANKAN & MENGEMBANGKAN BISNIS MENINGKATKAN INOVASI DAN ENTERPRENURSHIP
Membangun pusat-pusat informasi bisnis bersama. Pusat ini berisikan informasi baik indikator ekonomi lokal, statistik tenaga kerja, rencana pengembangan lokal, potensi lahan, regulasi-regulasi dan perizinan, dll X X X
Membangun dan membantu (venture) pada sisi keuangan perusahaan-perusahan terutama perusahaan kecil. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan joint venture capital. X X X
Membangun pusat pelatihan bagi pengusaha kecil dan menengah. Hal ini dikarenakan kegagalan pada pengusaha kecil dan menengah diakibatkan oleh manejemennya yang tidak baik. X X X
Membangun sistem pemasaran bersama. Peran pemerintah sebagai memfasilitasi dengan secara aktif memperluas pemasaran kepada pihak-pihak yang potensial sebagai konsumen. X X X
Membangun program promosi dan pariwisata. Hal ini dalam rangka menarik penduduk luar wilayah membelanjakan keuangannya di wilayah lokal (sehingga timbul inflow bagi wilayah yang dikunjunginya). X X X

ALAT TUJUAN
MEMBANGUN KEGIATAN BISNIS MENARIK KEGIATAN BISNIS MEMPERTAHANKAN & MENGEMBANGKAN BISNIS MENINGKATKAN INOVASI DAN ENTERPRENURSHIP
Melakukan riset-riset dan pengembangan yang terkait dengan sektor yang berkembang di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat gambaran ekonomi wilayah tahunan, melakukan predikisi-prediksi trend yang akan berkembang di wilayah tersebut. X
Membangun pusat-pusat inkubator. Pusat ini merupakan suatu upaya untuk mengembangkan teknologi tertentu yang terkait dengan kegiatan ekonomi lokal. X X
Membuat zona enterprise. Zona ini dimaksudkan untuk menarik investasi dimana pada wilayah tersebut kebijakan dijaga untuk bersifat pemberian insentif bagi pengembang untuk membangun pusat ekonomi. Dapat dilakukan dengan menurunkan tingkat pajak bagi pengembang pada daerah tersebut, ataupun lainnya. X X X
Melakukan pelatihan jiwa kewirausahaan ataupun pelatihan bisnis lainnya bagi pengusaha lokal. X X

II. ANALISA INPUT OUTPUT
Analisa input-output pertama kali dikembangkan oleh Wassil Leontif pada tahun 1930-an. Idenya sangat sederhana namun mampu menjadi salah satu alat analisa yang ampuh dalam melihat hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian.
Baumol dalam Nazara (1997)33 menyatakan analisa input-output sebagai usaha untuk memastikan fenomena keseimbangan umum dalam analisa empiris sisi produksi. Analisa input-output merupakan suatu peralatan analisa keseimbangan umum. Analisa itu didasarkan suatu situasi perekonomian. Keseimbangan dalam analisa input-output didasarkan arus transaksi antar pelaku perekonomian.
Kelemahan dalam analisa input-output ini adalah analisa ini mengasumsikan suatu perekonomian tanpa adanya harga, tanpa adanya kemajuan teknologi, tanpa adanya batasan kapasitas produksi, dan masih banyak lagi asumsi-asumsi model analisa tersebut.
Tabel Input Output (I-O) ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai :
1 Struktur perekonomian negara/wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor.
2 Struktur input antara berupa transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi.
3 Struktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam negeri (Propinsi Jawa Timur) maupun barang impor atau yang berasal dari propinsi/negara lain.
4 Struktur permintaan barang dan jasa yang meliputi permintaan oleh berbagai sektor produksi di Jawa Timur dan permintaan untuk konsumsi, intervensi dan ekspor keluar Jawa Timur.

Proses pengambilan data pada Tabel I-O dilakukan dengan teknik semisurvei dengan penjelasan sebagai berikut:
1 Memanfaatkan semaksimal mungkin data struktur input sektoral yang telah tersedia di BPS. Dari hasil Sensus Ekonomi, Sensus Penduduk, Survei Industri, Survei Struktur Ongkos Produksi Pertanian, dan sebagainya.
2 Memanfaatkan data sekunder yang tersedia di berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta.
3 Melakukan Survei Khusus Input-Output (SKIO) dalam rangka melengkapi data sektor input sektoral. Kegiatan ini dilakukan secara terbatas untuk sektor-sektor yang tidak memiliki data sekunder sama sekali.

Ada 4 jenis tabel yang ditampilkan dalam Buku Input-Output yaitu tabel 19 x 19, 66 x 66, 74 x 74 dan 100 x 100 sektor. Ada dua kriteria utama dalam melakukan pengelompokkan kegiatan ekonomi ke dalam sektor-sektor, yaitu:
1 Kegiatan-kegiatan ekonomi, sebaiknya dikelompokkan menurut kesamaan dalam struktur inputnya, sekalipun penggunaan outputnya dapat berbeda. Sebaliknya kegiatan ekonomi yang menghasilkan output dengan penggunaan yang sama, tetapi susunan inputnya berlainan, kegiatan-kegiatan tersebut tidak dapat dikelompokkan ke dalam sektor. Cara pengelompokkan ini disebut sebagai pengelompokkan horizontal.
2 Kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghasilkan beberapa macam barang dan jasa, sekalipun jumlah output masing-masing jenis barang dan jasa berubah-ubah dalam propinsi yang sama, dapat dikelompokkan ke dalam satu sektor. Hal ini terjadi khususnya pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan menurut tahap berurutan dalam proses produksi seperti pembersihan kapas, pembuatan benang tenun, pertenunan, pencelupan dan percetakan tekstil. Cara pengelompokkan ini disebut pengelompokkan vertikal.

A. DISTRIBUSI OUTPUT DAN INPUT PRODUKSI
Output yang diproduksi oleh suatu sektor, misalnya sektor i, didistribusikan ke dua pemakai. Pertama, pemakai yang menggunakan output tersebut untuk proses produksi lebih lanjut, dan kedua, pemakai yang menggunakan output tersebut untuk permintaan akhir. Pemakai pertama adalah sektor produksi sedangkan pemakai kedua tentunya adalah pemakai akhir. Bagi pemakai pertama, output sektor i tersebut merupakan bahan baku atau input antara (intermediate inputs), sedangkan bagi pemakai kedua, output sektor i merupakan permintaan akhir (final demand).
Dalam konteks input antara, terjadi arus atau perpindahan barang antar sektor, katakan dari sektor i ke sektor j. Tentu saja bisa terjadi pula perpindahan di dalam sektor itu sendiri, dari sektor i ke sektor i itu sendiri, atau yang disebut perpindahan intra sektor. Dengan kata lain, kita katakan bahwa terjadi perpindahan dari sektor i ke sektor j, dimana i=j. Katakan bahwa nilai uang arus barang dari sektor i ke sektor j diberi notasi zij, total output sektor i diberi notasi Xi, dan total permintaan akhir sektor i tersebut diberi notasi Yi. Dengan begitu dapat dituliskan bahwa :
Xi = zi1 + zi2 + .... + zin + Yi.
Persamaan ini menunjukkan distribusi dari output sektor i. Output sektor i tersebut didistribusikan ke sektor-sektor produksi yang lain dan juga dialokasikan ke pemakai akhir. Pemakai akhir tersebut tidak lain adalah pelaku-pelaku ekonomi didalam perekonomian yang secara agregat diklasifikasikan ke dalam rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan pihak luar negeri. Permintaan akhir rumah tangga adalah konsumsi rumah tangga, permintaan akhir perusahaan ialah investasi, permintaan akhir pemerintah adalah pengeluaran pemerintah dan permintaan akhir dari luar negeri adalah ekspor.
Input yang dibutuhkan dalam proses produksi sektor i bukan hanya input antara saja. Sektor produksi pun memerlukan input lain yang kerap disebut input primer. Input primer tidak lain adalah faktor produksi seperti faktor produksi tenaga kerja, modal, atanh dan sebagainya. Dengan menggunakan faktor-faktor produksi tersebut sebagai inputnya, maka ada balas jasa faktor-faktor produksi tersebut di dalam proses produksi. Misalnya, balas jasa faktor produksi tenaga kerja adalah upah atau gaji, balas jasa faktor produksi kapital adalah sewa atau bunga modal, balas jasa faktor produksi tanah adalah sewa tanah dan seterusnya. Balas jasa faktor-faktor produksi inilah yang disebut sebagai nilai tambah dari proses produksio tersebut.
Faktor produksi yang ada di dalam perekonomian tidak semuanya dipakai di sektor-sektor produksi. Ada pula faktor-faktor produksi yang dipakai sebagai permintaan akhir. Oleh karenanya, faktor-faktor produksi tersebut ada pula yang digunakan oleh rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan luar negeri.
Selain input antara yang dibeli dari sektor-sektor lain di dalam perkeonomian dan input primer yang berupa faktor-faktor produksi, proses produksi sektor-sektor tertentu juga dapat membeli i nputnya dari luar negeri dalam bentuk impor. Dalam bentuk yang sederhana, tabel input-output akan terlihat sebagai berikut
TABEL II-5 MODEL INPUT-OUTPUT SEDERHANA
Sektor Produksi Permintaan Akhir Total Output
1 2 C I G E
Sektor produksi 1 Z11 Z12 C1 I1 G1 E1 X1
Sektor produksi 2 Z21 Z22 C2 I2 G2 E2 X2
Nilai Tambah L L1 L2 Lc LI LG LE L
Nilai Tambah N N1 N2 NC NI NG NE N
Impor (M) M1 M2 MC MI MG ME M
Total Input X X1 X2 C I G E X

Pada garis horizontal atau baris, isian-isian angkanya memperlihatkan alokasi penggunaan barang dan jasa yang tersedia sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) dan sebagian lagi dipakai untuk memenuhi permintaan akhir (final demand) yang terdiri dari konsumsi (C), investasi (I), dan ekspor (E). Isian angka menurut angka vertikal atau kolom menunjukkan struktur pemakaian input antara dan input primer (nilai tambah bruto) yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk pelaksanaan kegiatan produksi.
Berdasarkan tabel ini pula total input haruslah sama dengan total output. Kemudian, sesuai sifatnya yang liner,maka dapat dituliskan sebagai berikut; X1 + X 2+ L + N + M = X = X1 + X2 + C + G + I + E atau N + M = C + G + I+ E - M
B. TABEL YANG DISAJIKAN DALAM BUKU INPUT-OUTPUT
Tabel-tabel yang disajikan dalam Buku Tabel Input-Output adalah sebagai berikut:
a. Tabel transaksi atas dasar harga pembeli dan harga produsen Tabel transaksi ini dinyatakan atas dasar harga pembeli dan produsen. Perbedaan keduanya adalah pada harga pembeli unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan tergabung dalam nilai input sektor yang membeli. Sedangkan dalam tabel harga produsen, semua unsur margin perdagangan dan biaya pengangkutan dipisahkan dari nilai inputnya dan diperlakukan sebagai input dari sektor perdagangan dan pengangkutan bagi masing-masing sektor yang membeli. Tabel I-O atas dasar produsen akan lebih mudah dilakukan jika disusun melalui harga pembeli. Walaupun demikian, dengan harga produsen, angka yang disajikan diharapkan dapat memberikan kestabilan pada koefisien input yang dihasilkan, karena hubungan antar sektor tidak dipengaruhi lagi oleh unsur margin distribusi.
b. Tabel koefisien input Tabel koefisien input harus dibaca secara vertikal menurut kolom. Dalam setiap kolom, secara pokok terdiri dari dua kategori input: input antara (intermediate input) dan input primer (primary input) atau lebih dikenal dengan nilai tambah bruto. Input antara adalah semua barang dan jasa yang habis dalam satu kali proses produksi yang merupkan input dari sektor tertentu. Input primer mempunyai empat komponen pokok, yaitu: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto. Tabel ini memperlihatkan peranan setiap produk yang berasal dari berbagai sektor dalam memproduksi satu unit output sektor tertentu. Koefisien input tersebut masing-masing dihitung dari dua tabel transaksi (tabel dasar): tabe; atas dasar harga pembeli dan harga produsen, dengan cara sebagai berikut:

xij
aij = (i,j = 1,2,3,4, ...., n) Xj

Vhj
Vhj = Xj (j = 1,2,3,4, ...., n; h = 201,.... 204)

Dimana
X j = output domestik sektor j.
Xij = jumlah output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j untuk
menghasilkan output sektor j.
Vhj = besar nilai tambah sektor j, komponen h.
aij= koefisien input antara yang berasal dari sektor i terhadap output sektor j.
Vhj = koefisien nilai tambah sektor j komponen h terhadap output sektor j.
c. Matrik pengganda output Matrik pengganda output (MPO) dari suatu tabel I-O merupakan kerangka dasar untuk berbagai analisa ekonomi. MPO merupakan suatu matriks kebalikan (inverse matrix) yang pada prinsipnya digunakan sebagai suatu fungsi yang menghubungkan permintaan akhir dengan tingkat produksi. Oleh karena itu, MPO dapat dipakai uuntuk menghitung pengaruh terhadap berbagai sektor dalam perekonomian yang disebabkan oleh perubahan permintaan akhir. Misalnya apabila diketahui tingkat konsumsi atau ekspor, maka dengan menggunakan tabel ini dapat dihitung tingkat output yang seharusnya diperukan untuk memenuhi konsumsi atau ekspor tersebut.
III. ANALISA MULTIVARIATE
A. TEORI ANALISA MULTIDIMENSIONAL SCALING

Untuk menciptakan suatu network system, diperlukan pemahaman mengenai potensi-potensi lokal setiap wilayah. Dari berbagai potensi tersebut, hubungan antar potensi wilayah dapat dilihat melalui analisa input dan output. Analisa ini melihat pada hubungan kedepan (forward lingkage) dan hubungan kebelakang (backward lingkage) suatu aktivitas ekonomi. Berbagai potensi lokal ini pun dapat dilihat melalui adanya kesamaan dan perbedaan sektor dominan (komoditas). Untuk membuka suatu gambaran kesamaan dan perbedaan antar kabupaten/kota dapat digunakan suatu alat analisa berupa multidimensional scaling (MDS). Alat ini mampu memperlihatkan struktur tersembunyi dari data-data yang ada. Penggunaan MDS ini menurut Dillon (1984)34 telah digunakan pada berbagai macam penelitian aplikatif seperti di bidang perencanaan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengoperasikan MDS ini, yaitu: prosesnya merupakan iterasi, proses iterasi dapat dihentikan dengan mengamati nilai STREES (yaitu ukurang ke fit-an suatu hasil iterasi perhitungan kedekatan data (proximity) dan adanya kesesuaian hubungan antara derived distance (dij) dan original proximities (sij) (yang dinyatakan dalam Shepard Diagram. Hubungan tersebut menurut Dillon (1984)35 adalah
Jika sij ; i, j = 1,2,3,4 ...........
s23 > si2 > s34 > s13 > s13 > s24 > s14
maka fitted distance- nya adalah
d23 < di2 < d34 < d13 < d13 < d24 < d14
Adapun tahapan dalam melakukan analisa multidimensional scalling adalah sebagai berikut:
Buatlah konfigurasi awal. Pada konfigurasi awal posisi stimulus dikatakan sebagai trial configuration.
Pada setiap trial configuration dari objek (stimulus) dalam ruang yang direduksi diubah dengan maksud untuk menuju perbaikan kesesuaian/kecocokan titik-titik objek dalam ruang pada nilai kedekatan yang asli.
trial configuration awal akan menghasilkan jarak yang tiidak sesuai dengan jarak sesungguhnya sehingga ada ukuran error. ukuran kesalahan tersebut adalah stress (ukuran kecocokan jarak dalam ruang yang dihasilkan dengan jarak pada data aslinya) nilai stress yg kecil menandakan adanya kesalahan yang kecil antara jarak yg dicocokkan dengan nilai kedekatan asli dari mana ruang tersebut diperoleh.
solusi disebut terminal (selesai), bila perbaikan dalam stress setelah beberapa

GAMBAR 2.2 KONFIGURASI AWAL MDS
II
* X3 * X1 * X2 * X10 * X4 I

iterasi tidak melebihi suatu nilai yang telah ditentukan sebelumnya.Untuk syarat dasar model ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1 Jarak yg diperoleh dalam ruang seharusnya sesuai dengan kedekatan asli sehingga yang ditemukan oleh multidimensional scalling adalah posisi dalam ruang atau kooridinat untuk masing-masing objek sedemikian rupa sehingga jarak antar mereka akan berhubungan secara erat dgn nilai kedekatannya.
2 Keberhasilan proses multidimensional scalling dilihat bagaimana baiknya jarak

yang dihasilkan dalam ruang (dij) sesuai dgn kedudukan asli (sij)
dij = ( S (xki – xkj)2)1/2 (atau disebut juga sebagai jarak euclidien)
i (x1i, x2i, x3i) dan j (x1j, x2j, x3j)
sij adalah jarak dari data asli 3. Selain itu pula, kesempuranaan dari model
analisa ini dapat pula dilihat dari diagram shepard dengan perfect monotonicity dimana semakin berbentuk garis lurus maka nilai stress semakin kecil. Ilustrasi ini dapat dilihat pada perbandingan dua grafik berikut ini.
JELEK
Pemasukan data pada analisa ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu :
1. Direct similarities, yaitu pemasukan data dengan cara memperkirakan kesamaan sifat antara semua pasangan objek. Teknik ini dilakukan dengan cara memperlihatkan sepasang stimulus kepada orang/subjek dan kemudian subjek menilai sepasang stimulus (tingkat perbedaan/ kesamaan). Menurut Dillon (1984)36 penentuan data ini dapat dilakukan melalui :
• Membuat line marking (only two)
(0) beda (100) sama
Membuat sortir (sorting techniques) dengan menunjukkan beberapa objek pada subjek-subjek, subjek mengelompokkan objek dalam matrik, bila satu kelompok maka nilainya 0, akan tetapi untuk objek yang tidak satu kelompok dinilai 1. kemudian hasil pada satu subjek dengan subjek lain dioverlapkan dan dijumlahkan.
Condition rank order, setiap objek dijadikan standar untuk melakukan penilaian terhadap objek lain dengan melihat persamaan dan perbedaannya terhadap objek yg dijadikan standar. kemudian diurutkan dalam matriks sebagai berikut:

TABEL II-6 ILUSTRASI INPUT DATA MELALUI CONDITION RANK ORDER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 0 4 5 7 3 1 8 11 17 21 30
2
3
….

Dimesi yang optimal akan sangat tergantung pada berapa banyaknya stimulus, sebagai contoh untuk 12 objek maka 2 dimensi, dan 18 objek maka 3 dimensi.
2. Derived similarities, yaitu pengukuran dari strimulus atau ojek itu pada deksriptor sebagai sifat.
36 ibid
Teknik ini dilakukan dgn mengukur jarak pada cara kluster untuk membuat
persamaan/perbedaan variabel. Pengukuran jarak dapat dilakukan dengan
menghitung jarak euclidien:
dij = ( S (xki – xkj)2)1/2
i (x1i, x2i, x3i) dan j (x1j, x2j, x3j)
Hasil output akhir ini berupa perceptual map. Peta persepsi ini menggambarkan posisi relatif stimulus (objek) terhadap stimulus lain. Peta jarak ini tidak saja menggambarkan jarak fisik, akan tetapi dapat pula menggambarkan jarak prestasi antar posisi. Ada dua pendekatan dalam membaca perceptual map ini. Kedua pendekatan tersebut adalah:
Pendekatan subjektif adalah pembacaan dilakukan melalui interpretasi dengan semata-mata kita melihat pada posisi objek/stimulus dalam ruang. Cara pembacaan tersebut adalah lihatlah sifat stimulus yang menguasai posisi ekstrim dalam ruang yang diperoleh. Kemudian kita harus melihat kenapa pada dimensi I menyebabkan satu objek dengan objek lain berada pada posisi yang berlawanan. Jika variabel yang menyebabkan posisi tersebut berlawanan adalah kaya dan miskin maka dimensi I merupakan dimensi tentang kekayaan. Untuk dimensi II dapat dilakukan dengan cara sebagaimana penentuan dimensi I. kemudian hubungkan antara makna dimensi I dengan dimensi II-nya sehingga didapat esensi kuadran i, ii, iii, dan iv.
Pendekatan objektif adalah dalam membuat peta multidimensi kita telah mempertimbangkan beberapa variabel yg mengukur beberapa ciri stimulus yg kita harapkan mencerminkan suatu hubungan sistematis dengan posisi objek/stimulus dalam ruang. Cara ini pun dibantu oleh analisa multiregresi.

B. ANALISA CLUSTERING
Analisa cluster adalah suatu analisa yang mencoba mengelompokkan objek-objek berdasarkan kesamaan karakteristik diantara objek-objek tersebut. Dalam analisa multidimensional scaling, analisa ini sangatlah berguna dalam menyederhanakan perceptual map. Banyaknya objek yang mengelompok pada satu daerah menyebabkan kesukaran dalam pembacaan petanya. Beberapa objek yang berdekatan pun melukiskan bahwa objek-objek ini memiliki kesamaan karakteristik. Dalam analisa cluster, fenomena ini dapat dijadikan sebagai satu cluster tersendiri. Dengan demikian, penggunaan cluster ini akan menyebabkan semakin sedikitnya objek yang dipetakan karena yang sangat berdekatan akan diwakili oleh satu cluster tertentu.
Ada dua ciri suatu cluster ini dinyatakan baik menurut Santoso (2003)37, yaitu:
1 Cluster tersebut memiliki homogenitas (kesamaan) yang tinggi antar anggota dalam satu cluster (within cluster).
2 Heterogenitas (perbedaan) yang tinggi antar cluster satu dengan cluster lainnya (between cluster).

Prosedur dalam melakukan analisa clustering, menurut kachigan (1982)38 mengikuti empat tahapan berikut ini:
1. Pada tahap pertama mengukur masing-masing obyek (misal n obyek) melalui berbagai kriteria (misal K variabel).
37 Santoso, Singgih, SPSS: Statistik Multivariat, Elex Media Komputindo, 2003 38 Kachigan, Sam Kash, Statistical Analysis: An Interdisciplinary Introduction to Univariate and
Multivariate Methods: Radius Press, New York, 1982
2. Tahap ini dilakukan dengan mengukur kesamaan antar obyek. Pengukuran kesamaan ini dapat dilakukan dengan mencari correlation coefficients, euclidien distance dan Matching-Type measures of similarity. Koefisien korelasi ini didapat dari pengukuran obyek-obyek yang berpasangan melalui beberapa variabel. Jika satu pasang obyek memiliki koefisien korelasi yang lebih besar daripada pasangan lain maka pasangan obyek pertama dapat diinterpretasikan memiliki hubungan yang kuat atau mirip. Sedangkan untuk jarak euclidien, jarak yang diukur merupakan hasil dari mencari garis miring pada teorema pitagoras. Adapun rumusan untuk mencari jarak euclidien ini adalah :
dij = ( S (xki – xkj)2)1/2 (atau disebut juga sebagai jarak euclidien)
i (x1i, x2i, x3i) dan j (x1j, x2j, x3j)
sij adalah jarak dari data asli untuk Matching-Type measures of similarity,
obyek diukur berdasarkan variabel yang dikotomi. Obyek yang memiliki nilai pada suatu variabel dinilai 1 dan obyek yang tidak memiliki nilai pada suatu variabel dinilai 0. nilai kesamaan antar obyek dapat dihitung melalui ada atau tidaknya kesamaan sifat pada masing-masing varibel dibagi dengan total jumlah variabel tersebut.
1 Tahap ini dilakukan pembentukan cluster baik dengan cara mutually exclusive clusters maupun dengan cara hierarchical cluster. Tujuan tahap ini adalah mendapatkan kelompok obyek yang memiliki variasi didalam cluster yang kecil dan memiliki variasi antar cluster yang besar. Ada dua teknik yang sering dipergunakan dalam melakukan cluster formation, yaitu: inverse factor analysis dan clustering algorithms.
2 Setelah cluster didapat, maka perlu dilakukan pembandingan antar cluster untuk mendapatkan ide bagaimana cluster yang satu dengan yang lainnya dibedakan. Cara yang paling sederhana adalah dengan melihat pada variabel apa yang membentuk obyek-obyek tersebut menjadi satu cluster. Sedangkan untuk cara lain untuk melakukan perbandingan antar cluster adalah melalui analisa diskriminan.

Dalam proses mencari cluster, Santoso (2003)39 memberikan ada lima metode sebagai berikut:
1 Single Lingkage, Metode ini akan mengelompokkan dua obyek yang mempunyai jarak terlebih dahulu. Jika A dan B mempunyai jarak terdekat (misal 4,2) dibandingkan jarak A dan C (misal 8), atau B dan C (misal 5,6) maka proses hierarki pertama adalah mengelompokkan A-B.
2 Complete Lingkage, metode ini justru akan mengelompokkan dua obyek yang mempunyai jarak terjauh terlebih dahulu.
3 Average Lingkage, metode ini akan mengelompokkan obyek berdasarkan jarak rata-rata yang didapat dengan melakukan rata-rata semua jarak antar obyek terlebih dahulu.
4 Ward’s Method, dalam metode ini, jarak antara dua cluster yang terbentu adalah sum of square diantara dua cluster tersebut.
5 Centroid Method, metode ini mengartikan jarak antara dua cluster adalah jarak di antara dua centroid cluster-cluster tersebut. Centroid adalah rata-rata jarak yang ada pada sebuah cluster, yang didapat dengan melakukan rata-rata pada semua anggota suatu cluster tertentu. Dengan metode ini, setiap terjadi cluster baru, maka segera terjadi perhitungan ulang centroid sampai terbentuk cluster yang tetap.

39 ibid
C. ANALISA FAKTOR
Analisa faktor adalah suatu bentuk analisa untuk mengelompokkan variabel-variabel yang berpengaruh. Pengelompokkan ini diperlukan ketika ada banyak variabel berpengaruh yang perlu dipertimbangkan. Tahap pertama pada analisa faktor adalah menilai mana saja variabel yang dianggap layak (approriateness) untuk dimasukkan dalam analisa selanjutnya. Kemudian, variabel yang layak tersebut dinilai apakah mempunyai kecenderungan mengelempok dan membentuk sebuah faktor. Kecenderungan ini dapat dilihat pada nilai korelasi yang tinggi antar variabel tersebut. Variabel yang memiliki korelasi yang tinggi dianggap sebagai satu kelompok tertentu dan variabel yang memiliki korelasi yang lemah dianggap sebagai tidak akan mengelompok dalam faktor tertentu.
Dalam analisa faktor ini ada tiga tahapan penting (Kachigan: 1982)40, yaitu: tahap pemasukan data mentahnya, tahap penentuan matrik korelasi dan tahap penentuan matrik faktor. Pemasukan data mentah, yaitu pengukuran objek berdasarkan variabel-variabel tertentu. Pemasukan data mentah ini akan menghasilkan matrik o x v. Selanjutnya adalah membuat matrik v x v dengan menggunakan nilai korelasi antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ketika matrik v x v ini dapat dibentuk, kemudian analisa untuk mendapatkan matrik v x f atau disebut factor matrix. Dalam matrik faktor, kolom menyatakan faktor turunan dan baris menyatakan variabel asalnya. Nilai pada interseksi kolom dan baris adalah nilai factor loading yang berkisar dari –1 sampai 1. nilai factor loading ini menyatakan tingkat hubungan antara variabel dengan faktor. Jika nilai factor loading untuk variabel 1 untuk tinggi pada faktor 1 maka variabel 1 tersebut dikelompokkan pada faktor 1 dan sebaliknya. Variabel yang memiliki nilai factor loading yang lebih besar dari variabel lainnya pada faktor itu maka variabel tersebut akan memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan dari variabel lainnya. Selain factor loading, analisa faktor pun memiliki nilai factor score. Factor score adalah nilai yang menyatakan besarnya suatu objek yang diukur melalui faktor-faktor yang terbentuk. Untuk penamaan faktor dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: menentukan nama berdasarkan variabel yang memiliki nilai factor loading yang tertinggi atau menentukan nama secara subjektif melalui kesamaan sifat anggota faktor/variabel yang termasuk dalam satu faktor tertentu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Free Slots - Play Online Casino Sites
Looking for Free luckyclub Slots Online? LuckyClub - the UK's number 1 source for online casino games, free slots, blackjack, roulette and baccarat news and scores for UK